Mengapa Kerajaan Sriwijaya disebut sebagai kerajaan maritim? Kerajaan maritim nusantara berkembang di Sumatera, Jawa, dan Kepulauan Maluku. Kerajaan maritim adalah sebutan untuk kerajaan yang terletak di pesisir pantai dan masyarakatnya menjalankan kegiatan yang berkaitan dengan laut, seperti perikanan, perdagangan, dan Pasaimakin mundur dan diperparah dengan berpindahnya pusat perdagangan ke Pulau Bintan dan Aceh Utara. Pada akhirnya Samudra Pasai dapat ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh. b. Kerajaan Malaka 1) Letak Geografi Letak Kerajaan Malaka sangat strategis, yaitu berada di Semenanjung Malaya dengan ibu kotanya di Malaka. Jawaban Karena Kerajaan Samudera Pasai dekat dengan jalur perdagangan laut sehingga membuat Kerajaan ini dijuluki pusat perdagangan internasional, sedangkan Kerajaan Malaka walaupun dekat dengan jalur perdagangan laut tapi kurang berkembang sebagai pusat perdagangan internasional. semoga bermanfaat dan jangan lupa follow akun ini terimakasih Iklan KerajaanBanten berkembang menjadi pusat perdagangan selain karena letaknya sangat strategis, Banten juga didukung oleh beberapa faktor di antaranya jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511) sehingga para pedagang muslim berpindah jalur pelayarannya melalui Selat Sunda. Faktor lainnya, Banten merupakan penghasil lada dan beras, komoditi yang Vay Tiền Trả Góp Theo Tháng Chỉ Cần Cmnd Hỗ Trợ Nợ Xấu. Penulis Muhammad Lazuardi KrisantyaEditor Muhammad Fachrul RabulHang Tuah, Laksamana kerajaan Melaka yang melegenda di Tanah abad ke-15 dan abad ke-16, Kesultanan Malaka atau Melaka di Semenanjung Melayu merupakan salah satu negara paling berpengaruh di Asia Tenggara. Hal ini tak lepas dari status yang berhasil disandang oleh ibukotanya, Bandar Malaka, yang oleh orang Eropa dijuluki sebagai “Venesia dari Timur”. Bandar Malaka adalah pusat perdagangan utama di Nusantara dan salah satu yang terpenting di seluruh Asia sepanjang eksistensinya sebagai ibukota Kesultanan Malaka. Mengapa dan bagaimanakah sejarahnya?Malaka didirikan oleh Parameswara, seorang bangsawan Melayu yang telah melanglangbuana sebagai penguasa di Palembang dan Singapura. Pada awalnya, Malaka hanyalah sebuah kampung nelayan kecil milik suku Orang Laut yang terletak di pesisir selatan Semenanjung Melayu. Antara tahun 1398 dan 1402, Parameswara tiba di tempat ini setelah ia terusir dari kerajaannya di Pulau Temasek atau Singapura yang runtuh akibat serangan-serangan militer dari Majapahit dan Ayutthaya, kekuatan-kekuatan regional utama di Asia Tenggara saat Dinasti Malaka, Sejarah Melayu atau Sulalatus Salatin menyatakan bahwa Parameswara tiba di Malaka setelah beberapa kali berpindah tempat dalam pelariannya dari Singapura. Ia akhirnya memutuskan untuk menetap di sana, setelah melihat suatu interaksi antara anjing-anjing pemburu milik pengawalnya dan seekor kancil liar yang melewati mereka. Si kancil dapat memperdaya dan menceburkan anjing-anjing itu ke sungai, “mengalahkan” mereka. Peristiwa ini mengilhaminya untuk tinggal dan mengembangkan permukiman di tempat itu. Permukiman ini dinamakannya Malaka, merujuk kepada nama pohon yang menaungi dirinya saat ia menyaksikan peristiwa tadi. Permukiman ini kemudian disatukan dengan kampung nelayan Orang Laut di daerah itu, di mana penduduknya bersedia mengabdi kepada Malaka diperkirakan terjadi pada tahun 1402. Berbekal status dan pengalaman sebelumnya sebagai seorang bangsawan Melayu dan raja Singapura, Parameswara mengangkat dirinya sebagai Raja Malaka. Sebuah kerajaan baru pun telah lahir. Parameswara berkeinginan agar kerajaannya ini mampu meraih kesuksesan dan kekayaan yang sama dengan Kerajaan Singapura yang dahulu dipimpin olehnya. Pertama-tama, ia harus mengamankan diri dari ambisi imperium-imperium besar yang mengelilinginya, Majapahit dan Ayutthaya. Beruntunglah ia karena pada tahun 1405, Kekaisaran Ming Cina – negara terkuat di Asia dan salah satu yang terkuat di dunia saat itu – tengah mengadakan ekspedisi Armada Harta Karun’-nya untuk menjamin keamanan jaringan perdagangan internasional di Samudera Hindia dan Pasifik Barat. Armada ini dipimpin oleh laksamana laut Cina Muslim yang terkenal itu, Cheng adalah salah satu tempat yang dikunjungi oleh armada Cheng Ho dalam ekspedisi pertamanya pada tahun 1405. Sebelumnya, Cina sudah pernah mengirim misi perutusan pimpinan Yin Ching ke Malaka pada tahun 1403. Yin Ching melaporkan bahwa saat itu Malaka masih merupakan sebuah negara kecil yang tidak penting. Ia juga menyatakan bahwa Kerajaan Malaka adalah negara bawahan dari Kerajaan Siam atau Ayutthaya, di mana ia diwajibkan mengirim upeti tahunan berupa 40 tahil emas. Ini menunjukkan bahwa pada masa awal berdirinya, Malaka belum mempunyai kekuatan dan pengaruh yang cukup untuk melawan salah satu imperium tetangganya, sehingga terpaksa menjadi armada Cheng Ho dimanfaatkan dengan baik oleh Parameswara, di mana ia segera menawarkan Malaka untuk menjadi “negara naungan” dari Kekaisaran Ming. Hal ini dilakukannya agar apabila salah satu kerajaan tetangganya datang menyerang, mereka harus berpikir dua kali karena Malaka telah mendapat perlindungan dari Cina. Selain itu, hubungan dengan Cina juga mampu meningkatkan wibawanya, karena Kekaisaran Cina merupakan sebuah negara besar yang oleh penduduk Asia Timur dan Asia Tenggara saat itu dipandang sebagai “pusat dunia”. Setelah resmi mendapatkan status sebagai negara naungan, Parameswara – dengan menumpang armada Cheng Ho pada tahun 1411 – mengadakan kunjungan ke Nanjing ibukota Kekaisaran Ming saat itu untuk menghadap Kaisar Cina, Yongle. Parameswara didampingi oleh keluarga dan pengikutnya yang berjumlah 540 orang, dan diterima dengan baik oleh Kaisar secara resmi Malaka berstatus sebagai negara naungan Cina, namun dalam prakteknya ia adalah negara yang berdaulat. Kekaisaran Ming tidak menempatkan suatu garnisun militer di Malaka dan negara naungan lainnya, melainkan hanya mendirikan guan-chang atau gudang penyimpanan barang-barang dagang. Gudang-gudang ini dikelola oleh sejumlah pejabat Cina yang dilantik oleh Laksamana Cheng Ho sebagai perwakilan resmi Kekaisaran rupanya masih berpihak kepada Parameswara. Pada tahun 1404, Kerajaan Majapahit di Jawa, yang kala itu membawahi banyak negara di Nusantara, terjebak di tengah perang saudara yang destruktif. Perang ini, yang dinamakan Paregreg, berlangsung selama kurang lebih dua tahun 1404-1406 dan menghancurkan kekuatan angkatan laut Majapahit yang pada abad ke-14 telah dapat “mengamankan” sebagian besar Asia Tenggara Kepulauan dari dominasi Kekaisaran Yuan Mongol di utara dan menyatukan wilayah itu ke dalam satu mandala besar yang berpusat di Pulau Jawa. Perang Paregreg dimanfaatkan oleh sejumlah vasal Majapahit di luar Jawa untuk melepaskan diri. Mereka merasa bahwa tak ada gunanya lagi untuk bernaung di bawahnya. Serupa dengan Malaka, mereka menawarkan diri kepada Armada Harta Karun Cheng Ho yang tengah berkunjung untuk diakui sebagai naungan Kekaisaran Ming. Di antara negara-negara ini adalah Brunei di Kalimantan dan Aru di Sumatera, yang berkat intervensi Ming berhasil lepas dari Majapahit pada tahun Malaka di bawah Parameswara juga memanfaatkan melemahnya pengaruh Majapahit untuk melancarkan perluasan kekuasaan. Ia menaklukkan sebagian besar wilayah Johor Ujong Tanah, Batu Pahat, Muar, Pagoh, Segamat dan Selangor Kelang, Linggi. Ia juga berhasil merebut kembali Singapura. Majapahit tak mampu melakukan apa-apa untuk membalas hal ini, karena selain kekuatannya belum pulih akibat Perang Paregreg, ia juga mengetahui bahwa Malaka telah mendapat perlindungan dari muncul reaksi berbeda dari tetangga Malaka di utara. Kerajaan Ayutthaya justru menanggapi ekspansi Malaka dengan menyerangnya. Ia melihat Malaka sebagai vasal yang memberontak. Antara tahun 1409 dan 1456, Ayutthaya diketahui berkali-kali menyerang Malaka, baik dalam wujud ekspedisi militer ataupun serangan penjarahan. Ini menimbulkan amarah Kaisar Cina, yang pada tahun 1431 mengirimkan surat bernada ancaman kepada Raja Siam, Samphraya atau Borommarachathirat II untuk menghentikan permusuhannya dengan Malaka. Intervensi Cina berhasil meredakan permusuhan Ayutthaya-Malaka secara berangsur-angsur, yang kemudian berubah menjadi hubungan perdagangan yang baik. Perdamaian ini menunjukkan besarnya wibawa Kekaisaran Ming Cina sebagai negara terkuat dan paling berpengaruh di Asia pada abad perkembangan Malaka sebagai pusat perdagangan internasional dimulai sekitar tahun 1409-1414. Tome Pires dalam Suma Oriental mencatat bahwa kala itu Raja Malaka menghubungi Raja Jawa Majapahit dan mengutarakan keinginannya untuk mengembangkan pelabuhan Malaka. Parameswara menyatakan bahwa untuk mencapai hal itu, ia harus menarik orang-orang Jawa yang merupakan kaum dagang paling dominan di Nusantara pada abad ke-15. Saat itu, pedagang-pedagang Jawa lebih suka singgah di pelabuhan Pasai di Sumatera, yang merupakan pusat perdagangan utama di Selat Malaka sejak akhir abad ke-13. Raja Jawa, Wikramawardhana mengabulkan keinginannya. Namun, ia menyatakan bahwa Parameswara harus turut meminta izin kepada Raja Pasai. Sejak lama, pedagang Jawa telah mendapat perlakuan istimewa dari Kerajaan Samudera Pasai yang tidak memberlakukan pungutan pajak kepada mereka. Samudera Pasai sendiri kala itu tengah menikmati puncak kejayaannya, di bawah pimpinan Sri Ratu menuruti permintaan Wikramawardhana. Ia menghubungi Ratu Nahrasyah dan menyampaikan maksudnya. Sang Ratu bersedia mengabulkan keinginannya itu dengan satu syarat, yakni agar Parameswara mau memeluk Islam terlebih dahulu. Raja Malaka itu setuju, dan ia pun menjadi seorang Muslim. Ia menikahi seorang putri dari Pasai untuk mempererat hubungannya dengan kerajaan itu, kemudian mengganti nama gelarnya menjadi “Sultan Iskandar Syah”. Sebagian besar penduduk Malaka mengikuti jejak rajanya, di mana mereka berbondong-bondong memeluk Islam dengan sukarela. Fenomena ini nantinya menjadi tren di banyak kerajaan Nusantara ketika Islam semakin berkembang pesat dalam abad-abad diplomasi yang dilakukan oleh Parameswara ini berbuah keberuntungan ganda kepadanya. Selain berhasil menggaet para pedagang Jawa ke pelabuhan Malaka, status barunya sebagai seorang raja Muslim juga berhasil menarik pedagang-pedagang Muslim dari India, Persia, dan Arab. Ekspedisi Dinasti Ming yang masih terus berlangsung hingga tahun 1433 juga ikut memberikan sumbangan. Orang-orang Cina berdatangan dan mulai menetap di Malaka, khususnya orang Hui Muslim yang membentuk sebagian kru Armada Harta Karun Cheng Ho. Parameswara berhasil menggapai impiannya untuk menjadikan Malaka sebagai pusat perdagangan yang sukses seperti Singapura sebelumnya, bahkan kini jauh melampauinya. Malaka pun berangsur-angsur berkembang menjadi pusat perdagangan utama di Nusantara, dan salah satu titik terpenting dalam jaringan perdagangan internasional Samudera Malaka menjadi negara Islam dan perkembangannya sebagai pusat perdagangan internasional, tak dapat dilepaskan dari keberhasilan diplomasi Parameswara dalam berhubungan dengan kerajaan-kerajaan besar di sekitarnya, terutama Samudera Pasai, Majapahit, dan Ming. Raja-raja Malaka berikutnya melanjutkan kebijakan Parameswara. Raja terbesarnya, Sultan Mansur Syah 1456-1477, mempererat hubungan diplomatiknya dengan ketiga kerajaan besar itu, yang telah ikut berkontribusi dalam perkembangan Malaka menjadi pelabuhan dagang utama di Mansur Syah menikahi seorang putri Cina bernama Hang Li Po atau Hang Liu, yang oleh naskah-naskah Melayu disebutkan sebagai putri dari Kaisar Cina, meskipun lebih mungkin jika ia merupakan putri dari pejabat yang kedudukannya lebih rendah, barangkali syahbandar dari salah satu kota pelabuhan di Cina Selatan, atau kapten kapal yang mempunyai hubungan baik dengan Sultan tahun 1459, Sultan Mansur Syah melawat ke Istana Majapahit di Jawa Timur untuk melamar Raden Galuh Cendera Kirana, seorang putri dari Raja Majapahit saat itu, Girisawardhana atau Brawijaya III. Lawatan ini disambut dengan meriah oleh Majapahit, menunjukkan eratnya hubungan kedua negara itu. Raja Majapahit bersedia menikahkan putrinya dengan Sultan Mansur Syah. Sebagai hadiah atas pernikahan itu, Raja Majapahit bahkan bersedia menyerahkan kekuasaannya atas Keritang Indragiri, Jambi, dan Tungkal di Sumatera serta Siantan di Kepulauan Riau kepada tahun 1468, Malaka mengintervensi sebuah perebutan tahta di Samudera Pasai. Sultan Mansur Syah mendukung Sultan Zainal Abidin III yang tersingkir dari tahtanya, dan membantu merebutnya kembali dengan mengirimkan armada laut Malaka pimpinan Bendahara Tun Perak. Sempat terjadi ketegangan hubungan setelah penobatan Sultan Zainal Abidin III, di mana ia menolak tawaran Tun Perak yang menginginkan agar Samudera Pasai menjadi vasal Malaka. Namun, hubungan kedua negara segera membaik dan terus dipererat lagi, khususnya di bidang keagamaan dan kesusastraan. Dari Samudera Pasai-lah, Malaka mengadopsi huruf Jawi Arab Melayu yang kemudian menjadi standar penulisan resmi di Dunia Melayu seiring dengan semakin berkembangnya Islam di kawasan pemerintahan Sultan Mansur Syah seringkali dianggap sebagai puncak kejayaan Kesultanan Malaka. Di bawah kekuasaannya, Malaka melancarkan perluasan wilayah ke Sumatera dan Malaya, baik melalui cara damai maupun peperangan. Ia menaklukkan negeri-negeri di Sumatera seperti Rokan, Siak, dan Kampar dengan ekspedisi militer. Raja-rajanya diislamkan dan “dilebur” ke dalam Dinasti Malaka melalui ikatan perkawinan. Ekspansi ke Malaya juga dilakukan dengan cara serupa, di mana Malaka berhasil menaklukkan Pahang dan Terengganu. Sementara Indragiri, Jambi, dan Tungkal – seperti telah disinggung sebelumnya – berhasil didapatkan dengan cara damai melalui hubungan pernikahan dengan masa kekuasaan Sultan Mansur Syah pula, hidup Hang Tuah, seorang tokoh dalam sejarah Melayu yang sangat dihormati oleh banyak orang Malaysia dan Indonesia modern. Ia menjabat sebagai laksamana dan utusan resmi Kesultanan Malaka yang telah melanglangbuana ke banyak negara asing. Ia merupakan salah seorang pengiring Sultan Mansur Syah dalam lawatannya ke menahkodai kapal ghali kebesaran Malaka, Mendam Berahi, Hang Tuah telah melakukan lawatan diplomatik ke berbagai negara, dari Kerajaan Ryukyu di Jepang, Majapahit, Ayutthaya, hingga Kemaharajaan Wijayanagara di India. Hikayat Hang Tuah bahkan menyatakan bahwa ia pernah pula berkunjung ke Mesir Kesultanan Mamluk dan Rum Kesultanan Turki Utsmani, pusat-pusat peradaban Islam di Timur Tengah, di mana ia menyempatkan diri untuk singgah di Mekkah dan Madinah, kota-kota paling suci bagi umat kemampuannya sebagai diplomat ulung inilah, Hang Tuah berhasil mempererat dan memperluas hubungan diplomatik Malaka dengan banyak kerajaan berpengaruh di sepanjang jalur perdagangan Samudera Hindia dan Pasifik Barat. Dampaknya, Bandar Malaka menjadi semakin ramai. Bertambah banyaklah bangsa asing yang berdagang di kota itu. Orang Tagalog dari Kerajaan Tondo di Pulau Luzon hingga orang Somali dari Kesultanan Ajuran di Tanduk Afrika, semuanya memiliki pos dagang dan permukiman khusus yang ditata dengan sedemikian rupa dan dijamin keamanannya oleh pemerintah Kesultanan tahun 1500, populasi total Bandar Malaka diperkirakan telah mencapai orang. Setiap hari, kota pelabuhan ini dikunjungi oleh 2000 kapal yang datang dari berbagai arah. Mereka memperdagangkan beragam produk, terutama rempah-rempah, teh, serta barang-barang keramik dan tekstil. Ketika orang Portugis tiba untuk pertama kalinya di Malaka pada tahun 1509, mereka menyaksikan sebuah kota yang besar dan megah dengan masyarakat kosmopolitan yang saling berinteraksi dalam 80 bahasa. Wajar apabila Portugis kemudian mengincar Malaka sebagai sebuah titik penting yang harus dikuasai untuk memperluas dominasi mereka dalam jaringan perdagangan Samudera bagaimana Malaka bisa menjadi pusat perdagangan utama di Nusantara? Kemampuan diplomasi yang mumpuni dan sedikit keberuntungan, itulah Ahmad, A. Samad 1979. Sulalatus Salatin Sejarah Melayu. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka. Cortesao, Armando. 2016. Suma Oriental Karya Tome Pires Perjalanan dari Laut Merah ke Cina & Buku Francisco Rodrigues. Yogyakarta Ombak. Groeneveldt, 2018. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok Komunitas Bambu. Osman, Zulkifli, dkk. 2015. Bahasa Melayu dalam Konteks Budaya. Tanjong Malim Penerbit UPSI. Salleh, Muhammad Haji. 2013. Hikayat Hang Tuah. Jakarta Ufuk Publishing House. Tan Ta Sen. 2010. Cheng Ho Penyebar Islam dari China ke Nusantara. Jakarta Kompas. Jakarta - Afonso d'Albuquerque memimpin ekspedisi Portugis ke Malaka yang tiba pada awal Juli 1511. Gubernur Portugis kedua dari Estado da India, kerajaan Portugis di Asia tersebut berangkat dari Goa, India membawa 15 kapal besar dan kecil serta 600 dari Sejarah Nasional Ketika Nusantara Berbicara oleh Joko Darmawan, d'Albuquerque dan pasukannya menaklukkan Malaka pada tanggal 10 Agustus 1511. Sejak itu, Portugis mengendalikan perdagangan rempah-rempah dari Asia ke Eropa. Apa alasan Portugis menaklukkan Malaka?Kedudukan Strategis dan Peluang EkonomiBerdasarkan Suma Oriental, catatan ekspedisi Tome Pires untuk Raja Emanuel di Portugal, alasan Portugis bersikeras menguasai Malaka karena wilayah tersebut memiliki kedudukan strategis dan peluang ekonomi potensial sebagai poros dagang dari India hingga China. Menaklukkan Malaka saat itu sama dengan menguasai perdagangan rempah-rempah lada, pala, cengkeh, kopi, hingga Pires mencatat, Malaka saat itu punya empat syahbandar, pengurus perdagangan yang dipilih sendiri oleh para pedagang asing dari berbagai kelompok bangsa untuk mengurusi kepentingan dagang mereka, seperti dikutip dari Kolonialisme Eksploitasi dan Pembangunan Menuju Hegemoni oleh pertama mengurus pedagang Gujarat, kedua mengurus pedagang Keling, Bengali, Pegu, dan penduduk Pasai. Syahbandar ketiga mengurus kepentingan pedagang Jawa, Maluku, Banda, Palembang, Kalimantan, dan Filipina Sulu dan Mangindanau. Syahbandar keempat menjaga dan mewakili pedagang China dan kepulauan Liu-Kiu. Kedudukan penting ini membuat Portugis berusaha menguasai Perdagangan Rempah-rempahSetelah beberapa lama menduduki Calcutta, orang Portugis sadar bahwa tidak hanya India yang menjadi penghasil rempah-rempah. Di samping itu, ada tempat lain yang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah di Asia, yaitu Malaka. Karena itu, ekspedisi ke timur dilanjutkan lagi, seperti dikutip dari Buku Siswa IPS oleh Nurhayati, Malaka saat itu juga memudahkan Portugis menguasai perdagangan rempah-rempah Asia ke Eropa. Bagi Portugis, cara termudah menguasai perdagangan di sekitar Malaka adalah dengan merebut atau menaklukkan Malaka. Portugis lalu mengirimkan ekspedisi ke Malaka di bawah pimpinan Afonso d'Albuquerque. Ekspedisi ini yang kelak menaklukkan Malaka pada Penguasaan Rempah-rempah di NusantaraDengan menguasai Malaka, Portugis dapat terus mengembangkan sayap dengan menaklukkan dan membangun pangkalannya ke timur, yaitu ke wilayah kepulauan penghasil rempah-rempah di nusantara seperti Sulawesi dan jadi rupanya alasan Portugis menaklukkan Malaka adalah menguasai perdagangan rempah-rempah di Asia ke Eropa. Selamat belajar, detikers! Simak Video "33 Pelaku TPPO Diringkus di Jateng, Korbannya Capai Ribuan!" [GambasVideo 20detik] twu/lus

mengapa kerajaan malaka tidak dijuluki sebagai pusat perdagangan internasional